4 Pulau Raib, Ketua HMI Pertanian USK : “Ho Ka Panglima Tanyo?

Oleh : Riski Alfandi – Ketua HMI Pertanian USK
ACEH SELATAN, Bersuarakita.com– Sulit dipercaya: seorang Gubernur yang karier politiknya dibangun dari legitimasinya sebagai panglima—yang seharusnya defend wilayah—justru membiarkan empat pulau Aceh “terseret” masuk Sumut hanya lewat keputusan administratif tanpa keberatan hukum nyata. Keputusan SK Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 ini dibangun atas “kajian spasial” dan persetujuan antar-pemda dari 2007, hingga pengulangan pada April 2025—menguatkan narasi: ini bukan perdebatan politik, hanya kalkulasi fungsi administratif yang sah.
Baca Juga :
Yang menarik, Mendagri Tito Karnavian menegaskan longgar: kalau ingin digugat ke PTUN, silakan—dan kalau mau kolaborasi pengelolaan migas, “why not?”. Artinya, pintu birokrasi pengelolaan sudah terbuka, tapi pintu perlawanan hukum seolah ditutup oleh senyapnya respons Aceh. Jawaban diplomatis seperti “kita cari solusi bersama” sungguh terasa seperti selimut: menenangkan tapi tak menghangatkan.
Bila benar pilar kedaulatan daerah—sebagaimana dijanjikan oleh SKB 1992—masih berlaku, patut dipertanyakan kenapa tidak segera jadi landasan gugatan hukum. Apakah ini karena struktur politik Aceh lebih nyaman pada bahasa ‘berkolaborasi’ ketimbang litigasi tegas? Jika ya, ini seperti memenangkan debat, tapi kalah di arena hukum. Pada saat Putusan PTUN bisa memberikan ikatan hukum, dialog kolaboratif hanya memberi rasa aman sesaat—sementara status pulau di atas kertas tetap milik Sumut.
Lebih menyakitkan lagi adalah bagaimana seluruh proses ini dikemas dalam narasi “spasial”, “sinkronisasi peta”, atau “potensi kolaborasi migas” yang justru mengaburkan substansi pokok hilangnya kedaulatan atas wilayah sendiri secara administratif. Kata “kolaborasi” kini menjadi tameng dari sikap pasif, menggantikan semangat advokasi hukum yang seharusnya ditunjukkan pemerintah daerah. Bahkan ketika Mendagri secara terbuka menyatakan, “Silakan digugat ke PTUN kalau tidak setuju”, respons yang muncul dari Aceh justru seperti biasa menunggu, berdiskusi, dan berharap. Seolah ruang perlawanan hanya pantas ditempuh kalau tidak mengganggu stabilitas, padahal stabilitas itu dibangun dari kejelasan dan keberanian bersikap. Bila pemerintah pusat merasa cukup percaya diri untuk menerbitkan SK berdasarkan data teknis, Aceh seharusnya punya kepercayaan yang sama kuatnya untuk membela datanya sendiri di meja hukum.
Baca Juga :
Curah Hujan Tinggi, Satu Jembatan Gantung di Gampong Mersak, Kecamatan Kluet Tengah Rusak
Dalam perspektif ini, publik Aceh layak bertanya: apakah kita sedang menyaksikan kepemimpinan yang mengayomi atau sekadar mengelola? Sebab seorang pemimpin seharusnya menjaga integritas wilayah, bukan hanya mengatur komunikasi. Tidak perlu retorika keras atau agitasi konfrontatif, cukup keberanian untuk menegaskan: wilayah ini milik kami, dan kami siap mempertahankannya sesuai hukum. Jika tidak, kita harus bersiap menghadapi preseden baru, di mana setiap klaim administratif dapat berjalan lancar tanpa sanggahan berarti, selama dikemas dalam bingkai “kerja sama dan sinergi”.
Secara praktis, narasi “kolaborasi” memang bisa jadi genius. Aceh tetap punya basis penghasilan migas saat dieksploitasi bersama. Namun itu juga ironis, Aceh justru harus berbagi wilayah—bahkan memaksakan diri bernegosiasi—padahal secara historis pulau itu punya posisi administratif yang jelas. Kolaborasi yang seharusnya jadi bonus sekarang malah jadi penutup atas masalah utama: kehilangan hak wilayah.
Dan jika itu terjadi, maka pertanyaan itu kembali relevan kemana pemimpin kita ? ho ka panglima?