Aceh Selatan : Negeri Kutukan Bagi Orang-Orang Hebat

Oleh : Riski Alfandi – Mahasiswa
ACEH SELATAN, Bersuarakita.com– Aceh Selatan adalah tanah yang subur, penuh potensi sumber daya alam dan manusia. Namun ironisnya, tanah ini seperti mengandung kutukan tak kasat mata: ia melahirkan banyak orang hebat, tetapi menolak kehebatan itu tumbuh di tanahnya sendiri. Orang-orang terbaik dari Aceh Selatan justru bersinar di luar, menjadi ilmuwan, birokrat, pengusaha, pemimpin di level nasional bahkan internasional — namun hampir semuanya sepakat: “Kalau mau sukses, jangan kembali ke Aceh Selatan.”
Fenomena ini bukan hanya soal migrasi kesuksesan, tetapi sebuah ironi struktural yang menyimpan luka sosial dan politik yang mendalam. Kita perlu menelaah ini secara tajam melalui tiga sudut pandang utama: struktur sosial, patologi budaya, dan teori reproduksi sosial.
- Struktur Sosial yang Menghambat Mobilitas
Menurut teori struktur sosial fungsionalis (Durkheim dan Parsons), masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang mampu mengakomodasi dan menghargai mobilitas vertikal — perpindahan individu dari strata bawah ke atas berdasarkan prestasi.
Namun di Aceh Selatan, terjadi kebalikan. Orang-orang hebat bukan diangkat dan dirayakan, tetapi seringkali dipinggirkan, dicurigai, bahkan dimatikan potensinya. Ini akibat struktur sosial yang didominasi oleh kekuasaan lama — jaringan politik lokal, feodalisme kultural, dan nepotisme birokratik — yang melihat kehebatan sebagai ancaman, bukan sebagai aset.
Struktur ini bukan hanya stagnan, tapi represif: ia mempertahankan status quo dengan membungkam inovasi. Hasilnya? Orang-orang cemerlang lari — bukan karena tidak cinta tanah kelahiran, tapi karena tak mungkin tumbuh di tanah yang enggan menerima perubahan.
- Patologi Budaya: Sindrom Krab dalam Ember
Dalam budaya lokal, ada semacam sindrom “crab mentality”: ketika satu individu mencoba naik ke atas, yang lain akan menariknya turun. Bukannya membangun ekosistem sinergi, banyak komunitas lokal justru merawat mentalitas sinisme terhadap perubahan, keberhasilan, dan ide-ide baru.
Budaya ini bukan hadir begitu saja, tapi merupakan warisan dari trauma kolektif sejarah — konflik, marginalisasi, serta sistem politik pasca-otonomi daerah yang justru memperkuat elitisme
sempit. Pierre Bourdieu, dalam konsepnya tentang habitus dan doxa, menjelaskan bahwa kebiasaan dan persepsi sosial itu diwariskan dan direproduksi secara sistematis oleh institusi, termasuk keluarga, sekolah, dan pemerintahan lokal.
Dalam konteks Aceh Selatan, habitus yang terbentuk adalah: “jangan terlalu menonjol, jangan terlalu cerdas, jangan mengganggu zona nyaman.” Maka tak heran bila banyak tokoh yang lebih memilih menjadi besar di luar daerah daripada melawan arus kultural yang melelahkan ini.
- Reproduksi Sosial Gagal: Pendidikan sebagai Alat Status Quo
Banyak orang hebat yang lahir dari Aceh Selatan membuktikan bahwa potensi SDM-nya luar biasa. Tapi sistem sosial lokal gagal membangun reproduksi sosial yang progresif. Sekolah-sekolah masih mengajarkan hafalan, bukan kreativitas. Pemerintah daerah lebih sibuk pada proyek, bukan pembinaan talenta. Organisasi pemuda dan adat lebih berperan sebagai alat kekuasaan ketimbang pengembang kader lokal.
Teori Reproduction Theory dari Bourdieu dan Passeron menunjukkan bagaimana institusi pendidikan bisa menjadi alat dominasi kelas jika tidak diarahkan untuk membongkar struktur ketimpangan. Di Aceh Selatan, sekolah dan kampus seringkali justru memperkuat dogma lama, bukan mendobraknya. Akibatnya, mereka yang berpikiran kritis dan terbuka sering dipaksa memilih: tunduk atau pergi.
Mengapa Mereka Tak Mau Pulang?
Banyak diaspora Aceh Selatan menyatakan bahwa pulang ke kampung halaman berarti membunuh mimpi sendiri. Mereka tidak pulang bukan karena tidak cinta, tetapi karena tahu betul: tanah ini belum siap menerima mereka. Mereka tahu bahwa inovasi akan dipolitisasi, integritas akan dianggap arogansi, dan ide perubahan akan dikubur oleh birokrasi setempat yang lebih tertarik pada proyek jangka pendek daripada perencanaan masa depan.
Ini bukan soal pesimisme, tapi realisme. Kita sedang menyaksikan eksodus potensi.
Penutup: Kutukan Itu Bukan Takdir, Tapi Konstruksi Sosial
Aceh Selatan bukan benar-benar negeri terkutuk. Kutukan itu adalah hasil konstruksi sosial — yang bisa dihancurkan, jika ada kesadaran kolektif. Tapi selama elit lokal sibuk mempertahankan posisi dengan mematikan potensi, selama budaya sinisme dan politik sempit
terus dipelihara, selama anak-anak muda tak diberi ruang untuk gagal dan tumbuh, maka kutukan itu akan tetap nyata.
Sudah saatnya Aceh Selatan bertanya:
Berapa banyak lagi anak terbaik yang harus pergi sebelum kita sadar bahwa kita sedang kehilangan masa depan kita sendiri?