Cinta di Tengah Keterbatasan Empat Pasangan Difabel dari Aceh yang Mengajari Kita Arti Hidup
PIDIE JAYA,Bersuarakita.com – Ditengah gegap gempita dunia yang seringkali sibuk dengan urusan sendiri, ada kisah-kisah kecil yang justru terasa lebih besar. Dari pelosok Aceh, tepatnya Pidie Jaya, empat pasangan difabel hadir membawa pelajaran sederhana cinta dan keteguhan hati bisa membuat hidup tetap berjalan, meski dengan cara yang berbeda.
Baca Juga :
Bupati Pidie Jaya: PMI Bukan Sekadar Organisasi, Tapi Mesin Kemanusiaan
Mereka hidup di empat titik berbeda Meurah Dua, Jangka Buya, Bandar Dua, dan Bandar Baru. Tantangan yang dihadapi tidak sama, tapi benang merahnya serupa mereka tidak pernah menyerah, apalagi mengeluh panjang.
Sunyi yang Penuh Bahasa Cinta
Di Bandar Baru, sepasang suami istri tuna rungu membuktikan bahwa kata-kata bukanlah satu-satunya cara berkomunikasi. Tidak ada percakapan panjang, tak ada suara keras. Namun gerak tangan, tatapan mata, dan senyum tipis sudah cukup jadi bahasa cinta yang hanya mereka pahami.
Cinta yang Merangkak Tapi Tak Pernah Jatuh
Di Jangka Buya dan Bandar Dua, dua pasangan lain harus hidup tanpa bisa berjalan normal. Kaki mereka tak bisa menopang tubuh, jadi merangkak adalah cara berpindah. Terlihat berat, bahkan menyakitkan. Tapi di balik itu ada semangat untuk tetap melangkah bersama. Rinawati dan Muhammad Yusdar, juga Husaini dan Sumiati, mengajari kita bahwa jarak bukan soal cepat atau lambat—tapi soal mau ditempuh atau tidak.
Menemukan Cahaya di Tengah Gelap
Lain lagi kisah Marhat Rusli dan Rohani Ali Basyah dari Meurah Dua. Pasangan tuna netra ini menjalani hidup dalam gelap. Tapi tangan yang saling menggenggam membuat jalan mereka tetap jelas. Mereka membuktikan bahwa mata bisa tertutup, tapi hati bisa lebih tajam melihat arah.
Baca Juga :
Kabar Gembira! Ratusan Guru PBI di Pidie Jaya Akhirnya Bisa Senyum Lebar
Harapan yang Tak Pernah Padam
Keempat pasangan ini tidak meminta belas kasihan. Mereka tidak pernah menuding siapa pun. Yang mereka lakukan hanyalah berharap agar pemimpin hadir, agar masyarakat peduli, agar ada sedikit ruang keadilan dalam hidup mereka.
Kisah-kisah seperti ini sering luput dari perhatian. Tapi justru dari sinilah kita belajar cinta tidak perlu syarat fisik, kebahagiaan bisa tumbuh dari keterbatasan, dan rasa syukur bisa lahir bahkan dari kehidupan yang penuh perjuangan.
Baca Juga :
Mereka bukan tokoh besar, bukan pula selebritas. Tapi kisah mereka jauh lebih berarti daripada sekadar kata-kata manis. Empat pasangan difabel dari Aceh ini, dengan caranya masing-masing, telah menunjukkan bahwa cinta adalah kekuatan terbesar untuk bertahan hidup.