ACEH SELATAN, Bersuarakita.com – Penggarapan lahan perkebunan dengan luas ribuan hektar yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan tanpa adanya kelengkapan legalitas perizinan yang jelas adalah bentuk kejahatan dan pelanggaran serius. Sehingga, Pemerintah maupun pihak penegak hukum seharusnya bertindak tegas terhadap tindakan yang berpotensi merugikan rakyat dan daerah. Hal itu diungkapkan oleh Koordinator Gerakan Pemuda Negeri Pala (GerPALA) Fadhli Irman, Minggu 20 Juli 2025.
Baca Juga :
Masuk Lewat Jendela, Dua Sejoli di Aceh Selatan Kepergok, Diduga Hendak “Bercocok Tanam”
Irman menjelaskan, PT Aceh Lestari Indo Sawita (PT ALIS) secara jelas hingga saat ini belum mengantongi Izin Hak Guna Usaha (HGU). Sementara, perusahaan tersebut sudah melakukan land clearing dan penggarapan lahan di lahan 1.357 hektar dengan mengandalkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang(PPKPR).
“PPKKPR yang ditunjukkan ke publik itu hanya dokumen awal untuk mendapatkan izin lain agar perusahaan dapat beraktivitas. dokumen PKKPR untuk kegiatan berusaha bukanlah izin, tapi hanya sebatas kesesuaian ruang. Sementara UKL/UPL itu hanya sebatas pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan, kemudian pertimbang-pertimbangan teknis dari Dinas Perkebunan Aceh maupun BPN Aceh tersebut juga bukanlah izin yang dimaksud. Sehingga, tak dapat dijadikan legalitas hukum perusahaan untuk menggarap lahan perkebunan tersebut,” ujarnya.
GerPALA juga menjelaskan, sesuai dengan Qanun nomor 9 tahun 2017 tentang Perubahan Qanun nomor nomor 12 tentang Perkebunan, maka izin land clearing dan izin usaha perkebunan budidaya (IUP-B) dan izin land clearing untukahan perusahaan perkebunan yang berada pada 1(satu) kabupaten/kota maka IUP B diterbitkan oleh Bupati/Walikota. Sementara, untuk lahan perkebunan yang berada di 2(dua) perkebunan maka izin LC maupun IUP-B dikeluarkan oleh Gubernur Aceh.
Baca Juga :
BPK Temukan 11 Paket Pekerjaan Belanja Hibah Tiga SKPK Aceh Selatan Bermasalah
Kata Irman, izin LC dan IUP -B tersebut hanya dapat digunakan untuk sementara dalam menggarap plasma yang diperuntukkan untuk masyarakat, sementara untuk lahan garapan perkebunan perusahaan tetap tidak boleh digarap terlebih dahulu tanpa adanya HGU.
“Kami justru mensinyalir ada indikasi PT ALIS justru belum mengkantongi izin LC dan IUP-B, namun tetap melakukan penggarapan lahan. Buktinya, dari semua dokumen yang ditunjukkan saat jumpa pers beberapa hari lalu tidak ada izin land clearing ataupun IUP -B, jika itu tidak ada maka jelas-jelas aktivitas penggarapan lahan yang dilakukan dengan dalih plasma selama ini itupun sifatnya ilegal dan harus ditindak tegas,” kata Irman.
Bahkan, kata Irman, dari hasil dokumen yang ditampilkan ke publik pun pihaknya menilai ada kejanggalan-kejanggalan. Misalkan, lanjut Irman, dokumen UKL-UPL yang dikeluarkan 01 Mei 2024, sementara salah satu syarat penerbitan UKL-UPL adalah Bukti Kepemilikan Lahan baik itu berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) atau bukti kepemilikan lahan lainnya/Surat Perjanjian Sewa (jika lahan disewa). Padahal pada 30 september 2024 masih ada masyarakat yang melakukan gugatan hingga ke Kementerian ATR melalui kuasa hukumnya. Ini membuktikan bahwa bukti kepemilikan lahan yang disajikan dalam pengurusan UKL -UPL patut diragukan.
Baca Juga :
Bayi Hasil Hubungan Gelap Pasangan Zina di Aceh Selatan dititip di Tanah Karo
Kemudian, kata Irman, syarat lainnya penerbitan UKL/UPL adalah PPKPR, bagaimana mungkin UKL UPL sudah diterbitkan pada 1 Mei 2024 sementara PPKKPR baru dikeluarkan pada 21 Mei 2024. Bagaimana mungkin, dokumen UKL-UPL lebih dulu diterbitkan sementara syarat untuk dokumen tersebut baru terbit 20 hari setelah itu.Kita berharap tak ada permainan dalam proses perizinan yang mengabaikan ketentuan -ketentuan sebagaimana mestinya,” ucapnya.
Tak hanya itu, tambah Irman, adanya indikasi terjadinya penerbitan PPKKPR yang berpotensi cacat secara formil. Salah satu syarat diterbitkan PPKKPR itu adalah bukti penguasaan lahan, sementara fakta menunjukkan PPKKPR baru dikeluarkan pada 21 Mei 2024, kemudian pada september 2024 masih ada masyarakat yang melakukan komplain karena lahannya dicaplok dalam kawasan perusahaan. Ini membuktikan adanya ketidaktelitian yang dilakukan oleh Pemkab Aceh Selatan dalam penerbitan peta PKKPPR yang mengindikasikan adanya cacat formil dalam penerbitan PKKPPR untuk PT ALIS,”urainya.
GerPALA juga menyoroti persoalan adanya keberadaan PT ALIS yang berbatasan langsung dengan Suakamarga Satwa Rawa Singkil. “Menurut pernyataan pihak PT ALIS jaraknya hanya 20-50 meter dari Rawa Singkil, sehingga hal itu juga sangat berpotensi merusak kelestarian Rawa Singkil ke depan. Kita berharap hal tersebut dapat ditinjau kembali dan dikaji secara lebih matang,” tegasnya.
Irman menyebutkan, masyarakat Aceh Selatan sangat terbuka untuk berbagai investasi sejauh itu sesuai aturan dan tidak merugikan masyarakat maupun daerah/negara.
Baca Juga :
Dua Paket Pekerjaan Belanja Bansos Dinas PERKIM Kabupaten Aceh Selatan Kekurangan Volume
“Jika menabrak aturan, garap suka-suka tanpa kejelasan legalitas yang pada akhirnya berpotensi merugikan daerah maupun negara, tentunya tidak boleh didiamkan begitu saja. Melihat berbagai polemik yang ada, kita meminta Pemkab Aceh Selatan agar mengevaluasi kembali PPKKPR PT ALIS dan jika terbukti ada pelanggaran maka kita mendesak Pemkab agar menyurati Pemerintah Aceh, BPN dan Kementerian Investasi untuk menutup PT ALIS,” pungkasnya.