Fenomena “bagi-bagi jabatan” Pasca Pilkada Menjadi Tantangan yang Menghambat Penerapan Meritokrasi

ACEH SELATAN, Bersuarakita.com – Dalam sistem pemerintahan yang ideal, meritokrasi menempatkan kemampuan, kinerja, dan integritas sebagai dasar utama dalam menentukan jabatan atau penghargaan. Namun, realitas yang berkembang masih sering dibayangi oleh tradisi politik balas budi dan praktik nepotisme.
Baca Juga :
Politik balas budi biasanya muncul ketika seseorang yang telah membantu dalam proses politik misalnya mendukung dalam pilkada, menyediakan modal, atau menjadi bagian dari jaringan kekuasaan kemudian “dibayar” dengan posisi strategis di pemerintahan.
“Hal ini bukan hanya terjadi di tingkat pusat, tetapi juga di daerah, bahkan hingga ke level birokrasi kecil. Sementara itu, nepotisme ketika hubungan kekerabatan, pertemanan, atau kedekatan personal lebih diutamakan daripada kompetensi,” ujar seorang birokrat kepada Bersuarakita yang minta identitasnya disimpan di meja redaksi, Jumat (5/9/2025) Sore
Baca Juga :
ST Burhanuddin Ancam Pecat Jaksa Melanggar Aturan: Camkan Ucapan Saya!
Sambungnya, praktik semacam ini jelas menghambat penerapan meritokrasi yang murni. Orang-orang yang sebenarnya memiliki kapasitas, pengalaman, dan dedikasi sering kali tersisih hanya karena tidak memiliki kedekatan dengan lingkaran kekuasaan. Akibatnya, lembaga pemerintahan tidak diisi oleh orang-orang terbaik, melainkan oleh mereka yang “berutang budi” atau memiliki akses istimewa.
“ Dampaknya sangat luas bang, kualitas kebijakan publik menurun, pelayanan masyarakat terhambat, hingga muncul budaya kerja yang tidak produktif karena pejabat yang duduk di kursi jabatan merasa tidak perlu membuktikan kinerjanya. Hal ini juga menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi, sebab publik melihat jabatan tidak lagi diperoleh secara adil,” kata alumni magister hukum ini
Baca Juga :
Kapolres Aceh Selatan Kunjungi dan Beri Dukungan Moril kepada Anggota yang Sedang Sakit
“Oleh karena itu, membongkar tradisi politik balas budi dan nepotisme bukan hanya soal reformasi birokrasi, tetapi juga soal menyelamatkan masa depan demokrasi dan pembangunan bangsa,” tutup pria berambut putih sambil menikmati pisang goreng di salah satu objek wisata di kota Tapaktuan.