Musnahnya Habitat Mangrove di Pesisir Alue Naga Banda Aceh Ancam Ekosistem Laut dan Daratan

Kondisi Hutan Mangrove di Kawasan pesisir pantai Alue Naga Banda Aceh berubah fungsi. Dokumen Mutia Delvi.
Oleh: Mutia Delvi Fakultas Pascasarjana Unsyiah Banda Aceh
BANDA ACEH, Bersuarakita.com – Keberadaan hutan mangrove sebagai pelindung pantai dari abrasi dan intrusi air laut, habitat berbagai jenis hewan dan penyaring air serta memiliki manfaat ekonomi dan medis kini berangsur-angsur punah akibat alih fungsi lahan.
Hasil penelitian dan investigasi yang dilakukan, di sebagian wilayah pesisir Alue Naga misalnya, hutan mangrove sebagai penyangga pengamanan kian musnah diduga akibat penebangan liar.
“Penebangan liar, alih fungsi lahan, dan pembangunan pesisir yang tidak ramah lingkungan menjadi penyebab utama rusaknya habitat yang sangat bermanfaat dan penting terhadap pelestarian lingkungan dan pusaran perekonomian,” ujar Mutia Delvi mahasiswa Pascasarjana Fakultas Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dalam kajian dan pemantauannya terhadap hutan Mangrove kepada wartawan Rabu (21/5/2025) pagi .
Lestari, Mahasiswi asal Aceh Selatan tersebut, mendesak pemerintah daerah segera mengambil langkah konkret untuk melakukan penanaman kembali (reboisasi), demi menyelamatkan ekosistem laut dan membentengi terjadinya abrasi.
“Rehabilitasi mangrove harus segera dilakukan, jika tidak sangat dikhawatirkan akan kehilangan lebih banyak ekosistem dan juga merugikan masyarakat pesisir secara ekonomi maupun lingkungan akibat maraknya penebangan yang tidak diawasi secara ketat,” kata Mutia Delvi yang sedang menekuni pendidikan Pascasarjana Jurusan Pengelolaan Sumber Pesisir Terpadu.
Masyarakat berharap adanya sinergi antara pemerintah, lembaga lingkungan, dan warga setempat dalam menjaga kelestarian mangrove di wilayah Alue Naga, demi keberlangsungan ekosistem dan kehidupan di masa depan. Hutan mangrove di pesisir Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, menghadapi ancaman serius akibat alih fungsi lahan.
Alih fungsi lahan untuk perumahan, infrastruktur dan tambak udang telah menyebabkan degradasi ekosistem mangrove yang vital bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat pesisir.
Dari investigasi yang dilakukan mahasiswa, dalam beberapa tahun terakhir, proyek pembangunan perumahan dan infrastruktur turut memperparah kondisi musnahnya hutan Mangrove.
Di sebagian kawasan ditemui, mangrove telah dibabat untuk membuka lahan baru, tanpa memperhatikan dampak ekologis jangka panjang. Padahal, wilayah Alue Naga termasuk kawasan rawan bencana pesisir, termasuk abrasi dan Tsunami.
Sayangnya, pembangunan perumahan dan proyek infrastruktur yang terus berjalan beberapa tahun terakhir memperparah kerusakan. Banyak lahan mangrove dibabat demi membuka ruang baru, tanpa memperhitungkan dampaknya bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat pesisir.
Titik kulminasinya, sejumlah nelayan juga mengaku, hasil tangkapan ikan semakin berkurang, malah kini harus merlayar atau mengharungi lautan lebih jauh dengan jarak tempuh butuh waktu lama, karena ikan tak lagi banyak ditemukan di sekitar pantai (terumbu karang) terdekat.
Lebih dari itu, ancaman abrasi pun semakin disinyalir kian nyata tanpa hutan mangrove, gelombang laut menghantam daratan tanpa hambatan. Pinggiran pantai mulai terkikis, lingkungan dihadapkan dengan rasa tidak aman dan nyaman.
Dikhawatirkan, jika tidak ada langkah serius dari pemerintah dan kesadaran bersama dari masyarakat, hilangnya mangrove akan menjadi awal dari kehilangan yang lebih besar akan berdampak kepada perekonomian serta perlindungan daratan di pesisir pantai.
Padahal, hutan mangrove memiliki peran vital, baik sebagai tempat ikan memijah maupun sebagai benteng alami terhadap abrasi pantai. Kini riwayatnya kian berkurang digilas berbagai kepentingan, baik pribadi maupun kelompok tanpa memperhatikan manfaat lingkungan.
Kerusakan ini dikhawatirkan akan berdampak langsung pada ekosistem laut. “Mangrove adalah tempat berkembang biaknya berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Jika rusak, maka populasi ikan bisa menurun drastis,” ujar salah satu nelayan setempat, Syukron.
Sang nelayan yang sehari-hari bergantung hidup dari penghasilan tangkapan itu, mengaku hasil tangkapan ikan mulai berkurang dalam beberapa bulan terakhir, salah satu faktor karena musnahnya tanaman Mangrove.
Nelayan setempat mengaku, hasil tangkapan ikan semakin berkurang. Mereka kini harus melaut lebih jauh karena ikan tak lagi banyak ditemukan di sekitar pantai.
Musnah dan hilangnya hutan mangrove juga membuat pesisir Alue Naga semakin rentan terhadap abrasi. Gelombang laut yang dulu diredam akar-akar mangrove kini langsung menghantam daratan.
Hasil peninjauan dan keterangan yang diperoleh mahasiswa Pascasarjana yang tidak lain adalah putri dari salah seorang wartawan di wilayah kerja Aceh Selatan itu, terdapat sejumlah rumah warga yang berada dekat garis pantai mulai menunjukkan tanda-tanda kerusakan akibat erosi.
Kajian lain, dalam materi kuliah Topik Khusus I Fakultas Perikanan Unsyiah Banda Aceh Prof. Dr. Muchlisin ZA, S.Pi M.Sc, secara ilmiah menjelaskan teori, praktek dan fungsi dan manfaat hutan Mangrove dengan melakukan peninjauan langsung di wilayah pantai Banda Aceh.
Lebih dari itu, ancaman abrasi pun semakin nyata. Tanpa mangrove, gelombang laut menghantam daratan tanpa hambatan. Beberapa rumah di tepi pantai mulai terkikis. Lingkungan jadi tidak aman.
Jika tidak ada langkah serius dari pemerintah dan kesadaran bersama dari masyarakat, hilangnya mangrove akan menjadi awal dari kehilangan yang lebih besar, tutup Mutia Delvi yang dikutip dari berbagai sumber dari peninjauan di lokasi